Gunung Penanggungan (1.659 mdpl)
Gunung Penanggungan dengan ketinggian (1.659 mdpl) dahulunya bernama
Gunung Pawitra yang artinya kabut, karena puncaknya yang runcing selalu
tertutup kabut. Gunung Penanggungan dikelilingi oleh empat gunung di
sekitarnya, yaitu Gn. Gajah Mungkur (1.084 m), Gn. Bekel (1.240 m),
Gn.Sarahklopo (1.235 m), dan Gn. Kemuncup (1.238 m)
HAYAM WURUK (1350 -1389 M), raja Majapahit yang suka
jalan-jalan itu pun pernah mampir di lereng timur Pawitra untuk
menikmati keindahan. Disebutkan dalam Kakawin Nagarakrtagama pupuh 58 :
1, sang raja singgah di Cunggrang, asrama para pertapa yang terletak di
tepi jurang yang curam. Dari tempat itu pemandangan ke arah Pawitra
sangat menawan.
Peninggalan sejumlah besar monumen dan artefak dari masa silam (abad 10 - 16 M) di lereng Penanggungan itu dilaporkan oleh arkeolog Belanda WF. STUTTERHEIM (1925). Eksplorasi awal itu hanya mengungkapkan kekayaan peninggalan kuna di kawasan tersebut. VR. VAN ROMONDT, insinyur yang arkeolog, mengadakan penelisikan secara menyeluruh di situs Gunung Penanggungan. Hasilnya sungguh menakjubkan!
Gunung Penanggungan terletak di
sebelah utara Gunung Arjuna (3339 m) dan Gunung Welirang (3156m). Gunung
itu dapat dicapai dengan kendaraan bermotor dari Surabaya atau Malang
menuju ke Pandaan, lalu ke Trawas dan terakhir aspal di Jolotundo. Perjalanan
dilanjutkan melalui jalan setapak yang relatif mudah. Disarankan
membawa pemandu yang mengetahui lokasi peninggalannya.
Salah satu bagian kitab Jawa Kuna Tantu
- Panggelaran yang digubah sekitar paruh pertama abad ke-16,
menguraikan perihal mitologi gunung itu. Dikisahkan bahwa semula
Jawadwipa selalu bergoncang goncang, terombang- ambing oleh ombak
Samudra India dan Laut Jawa.
Para dewa di kahyangan telah memutuskan
bahwa Tanah Jawa itu cukup baik untuk perkembangan peradaban manusia
selanjutnya, oleh karena itu harus dihentikan goncangannya. Mereka lalu
beramai-ramai memindahkan Gunung Mahameru (pusat alam semesta) yang
semula tertancap di Jambhudwipa (India) ke Jawadwipa dengan cara
menggotongnya bersama-sama, terbang di angkasa .
Selama perjalanan, bagian-bagian lereng
Gunung Mahameru berguguran, maka terciptalah rangkaian gunung-gunung
dari Jawa bagian barat hingga Jawa Timur. Tubuh Mahameru yang berat
jatuh berdebum menjadi Gunung Sumeru atau Semeru sekarang, gunung
tertinggi di tanah Jawa.
Sedangkan puncaknya dihempaskan oleh
para dewa jatuh di daerah selatan Mojokerto, menjelma menjadi Gunung
Penanggungan sekarang, atau gunung berkabut Pawitra yang sebenarnya
bagian puncak Mahameru.
Tak mengherankan kiranya apabila Gunung
Pawitra telah dimuliakan sejak waktu yang lama. Berdasarkan bukti-bukti
sejarah dan peninggalan arkeologi yang ditemukan di lerengnya,
diketahui Penanggungan disakralkan sejak abad 10 M. Inkripsi tertua yang
ditemukan adalah prasasti suci yang bertanggal 18 September 929 M.
Prasasti itu dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok yang
memerintahkan agar Desa Cunggrang dijadikan daerah bebas pajak (sima),
penghasilan desa itu dipersembahkan bagi pemeliharaan bangunan suci
Sanghyang Dharmasrama ing Pawitra dan Sanghyang Prasada Silunglung.
Berdasarkan berita prasasti tersebut dapat ditafsirkan, pada masa itu
telah terdapat bangunan suci (prasada) dan asrama bagi para pertapa di
Pawitra.
Adalah pemandian kuna (patirthan)
Jalatunda yang terdapat di lereng baratnya. Pemandian itu dibangun pada
tahun 899 - 977 M dan masih mengalirkan air hingga sekarang. Airnya
dianggap amerta (air keabadian) karena ke luar langsung dari tubuh
Mahameru, gunung pusat alam yang di puncaknya terdapat swarloka,
persemayaman dewa - dewa. Diduga, dahulu pernah bertakhta arca Wisnu
sebagai dewa kesejahteraan manusia di bagian tengah pemandian, sekarang
telah raib entah ke mana.
Air Jalatunda juga dipercaya oleh
penduduk sekitar Mojokerto, Surabaya, Malang, Pasuruan sebagai air
bertuah. Seseorang yang minum dan mandi di pancuran airnya (jaladwara)
dapat menenteramkan pikirannya yang kacau, dan juga dipercaya dapat
membuat awet muda. Ketika AIRLANGGA muda mengungsi dari Kerajaan
Dharmawangsa Teguh yang hancur akibat serangan dahsyat WURAWARI (1016
M), ia lalu menyingkir ke Wanagiri, diiringi sahabat setianya
Peninggalan sejumlah besar monumen dan artefak dari masa silam (abad 10 - 16 M) di lereng Penanggungan itu dilaporkan oleh arkeolog Belanda WF. STUTTERHEIM (1925). Eksplorasi awal itu hanya mengungkapkan kekayaan peninggalan kuna di kawasan tersebut. VR. VAN ROMONDT, insinyur yang arkeolog, mengadakan penelisikan secara menyeluruh di situs Gunung Penanggungan. Hasilnya sungguh menakjubkan!
Di Penanggungan ditemukan tidak kurang
dari 80 kepurbakalaan. Terdapat sekitar 50 monumen berupa punden
berundak-undak dengan tiga altar persajian di teras teratasnya. Dinding
punden-punden berundak adayang dihias dengan relief centa Sudhamala
(kisah ruwat Dewi Durga), Arjunawiwaha (perkawinan Arjuna dengan
Bidadari), Panji (kisah roman antara putra mahkota Janggala dan putri
Kediri), Ramayana, dan kisah-kisah hewan. Kepurbakalaan lainnya berupa
gua-gua pertapaan, deretan anak tangga batu mendaki bukit, area-area,
gentong-gentong batu, altar persajian tunggal, batu dihias relief,
prasasti, ribuan pecahan gerabah dari berbagai bentuk.
Berdasarkan tafsiran dari berbagai
bentuk data yang tersedia, baik berupa monumen, area-area, prasasti,
uraian kitab kuna Arjunawiwaha, Nagara krtagama, Arjunawijaya, Tantu
Panggelaran, dan lainnya lagi, dapat diketahui dalam era Hindu-Buddha di
Jawa, Gunung Pawitra merupakan pusat kegiatan kaum resi atau karsyan.
Para resi adalah mereka yang mengundurkan diri dari dunia ramai, memilih
hidup menyepi di keheningan alam pegunungan dan kehijauan hutan yang
masih asri.
Gunung Pawitra dijadikan pusat
aktivitas keagamaan kaum resi, tentu berdasarkan pemikiran bahwa Pawitra
tidak lain dari puncak Mahameru itu sendiri. Apabila para resi dan kaum
pertapa itu bermukim di lerengnya, berarti lebih mendekati rahmat dewa,
lebih mudah berkomunikasi dengan dunia Swarloka, tempat Girinatha
(Siwa) dan dewa-dewa lainnya bersemayam.
Komentar
Posting Komentar